BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Suri Tauladan
Kita sering terperangkap dalam
pola prinsip yang keliru dalam memaknai hakikat uswatun hasanah yang ada pada
diri rosulullah. Tidak sedikit diantara kita mengkerdilkan makna sifat uswah
(keteladanan). Nabi hanya terbatas pada masalah-masalah akhlak, sunnah-sunnah
dan ritual ibadah yang dikerjakan oleh nabi saja. Padahal syari’at juga menurut
kita untuk meninggalkan atau tidaj mengerjakan segala sesuatu yang tidak
dikerjakan oleh nabi dalam urusan ini.
Inilah makna yang lebih sempurna,
mencakup sunnah fi’liyah dan juga sunnah tarkiyyah.
Sunnah fi’liyah adalah sunnah
yang dikerjakan atau dicontohkan oleh nabi. Dalam hal ini kita pun dusunnahkan
bahkan bisa wajib untuk dikerjakan persis seperti apa yang dikerjakan oleh
beliau sebatas kemampuan kita.
Sunnah tarkiyyah kita dituntut
untuk meninggalkan suatu bentuk ritual dikarenakan ritual tersebut ditinggalkan
atau tidak dikerjakan oleh nabi di masanya, padahal sangat memungkinkan untuk
dikerjakan di masa beliau. Contohnya adalah kumandang adzan adzan saat sholat
Ied adzan sholat Istisqo (minta hujan) dan adzan untuk jenazah. Ini semua di
tinggalkan atau tidak dikerjakan oleh nabi maka bagi kita umatnya meninggalkan
ritual-ritual (adzan yang tidak pada tempatnya) tersebut juga termasuk sunnah
yang sifatnya wajib yan disebut sebagai sunnah tarkiyyah.
Adapun contoh dari suri tauladan
yaitu akhlaqul karimah : rasulullah SAW adalah uswatun khasanah yaitu teladan
bagi setiap manusia yang hidup di dunia. Sebagai umatnya kita disunnahkan untuk
mengambil dan mencontoh keteladanan beliau. Namun, dalam kebanyakan kajian
sering mengartikan dan memaknainya secara sempit. Mereka menganjurkan kita
untuk mengamalkan sunnah-sunnah rasulullah SAW, tanpa menekunkan bahwa
rasululloh itu adalah suri tauladan apabila kita ingin mengambil atau
melaksanakan keteladan beliau maka kita pun mestinya harus menjadi teladan bagi
orang lain, sesuai dengan kemamuan dan kapisitas kita masing-masing.[1]
Adapun sifat-sifat rasulullah SAW
menggambarkan akhlak mulia diwarnai oleh akhlak alquran dan sangatlah patutu
dijadikan sebagai contoh yang baik bagi kita, diantaranya sifatnya adalah :
1. Sidiq (Benar)
Para rasul allah dan Muhammad SAW
mempunyai sifat sidiq yang membawa kebenaran. Orang yang membawa kebenaran
tentunya ia bersifat sidiq sehingga apa yang
di sampaikan dapat diterima. Oleh
karena itu dengan sifat ini ramai masyarakat jahiliyah menerima islam.
2. Tabligh (Meyampaikan)
Seorang rasulullah diperintahkan
untuk menyamoaikan semua wahyu di terima dari allah. Walaupun ia harus
menghadapi halangan dan rintangan yang berat, rasulullah SAW harus menyampaikan
seluruh ajaran Allah swt.
3. Amanah (Dapat dipercaya)
Amanah secara umum berarti
bertanggung jawab terhadap apa yang dibawanya, menepati janji, melaksanakan
perintah, menunaikan keadilan memberikan hokum yang sesuai dan dapat
menjalankan sesuatu yang disepakatinya.seorang rasul harus dapat dipercaya
untuk menyampaikan seluruh pesan yang diperintahkan oleh allah swt, tanpa
ditambahi dan dikurangi sedikit pun. Hal ini dimaksudkan tidak lain agar umat
manusia memahami dengan saksama wahyu yang diturunkan melalui rasulnya tersebut.
Pada dasarnya modal utama hubungan antar personal adalah kepercayaan.
4. Fathanah (cerdas/cerdik)
Seorang rasul haruslah cerdik dan
bijaksana karena dengan kedua hal tersebutlah ia dapat memimpin dan membimbing
umat dengan baik. Fathanah juga bisa diartikan dengan bijaksana semua sikap dan
perbuatannya.
Kecerdasan rasulullah dapat
dilihat bagaimana rasul menyusun dakwah dan strategi-strategi berperang
ketempat lainnya. Diantaranya rasul adalah mempunyai pandangan bahwa islam akan
menaklukan mekkah dan menaklukan khaibar.[2]
B. Tafsir Q.S Al-Ahzab, 33: 21
“Sesungguhnya telah ada bagi kamu
pada Rasulullah suri teladan baik bagi orang yang mengharap Allah dan hari
kiamat, serta yang berzikir kepada Allah dengan banyak.”
1. Tafsir Ibnu Katsir
Ayat yang mulia ini merupakan
prinsip utama dalam meneladani Rasulullah saw. Baik dalam ucapan, perbuatan,
maupun perilakunya. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada manusia agar
meneladani Rasulullah S.a.w. Dalam peristiwa Al-Ahzab, yaitu meneladani kesabaran,
upaya, dan penantiannya atas jalan keluar yang di berikan oleh Allah. Semoga
shalawat dan salam Allah senantiasa dilimpahkan kepadanya hingga hari kiamat.
Karena itu, Allah berfiman kepada orang-orang yang hatinya kalut dan guncang
dalam peristiwa al-Ahzab “sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri
teladan yang baik bagimu “maksudnya, mengapa kamu tidak mengikuti dan
meneladani perilaku Rasulullah Saw.? Karena itu Allah berfirman, “yaitu bagi
orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan hari Kiamat. Dan dia banyak
mengingat Allah.
Kemudian Allah memberitahukan
ihwan hamba-hamba-Nya yang beriman dan membenarkan janji-Nya, “dan tatkala
orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu mereka berkata.
“inilah yang di janjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita. Dan benarlah Allah
dan Rasul-Nya.” Yakni ujian dan cobaan Allah ini akan membuahkan pertolongan
yang dekat sebagaimana telah di janjikan-Nya. Karena itu Allah berfirman dan
benarlah Allah dan Rasul-Nya.” [3]
2. Tafsir Al-Azhar
Ummu Salamah (moga-moga ridho
Allah terhadapnya), Istri Rasulullah s.a.w yang telah banyak pengalamannya
sebagai istri Rasulullah s.a.w yang turut menyaksikan beberapa peperangan yang
dihadapi Rasulullah pernah mengatakan tentang hebatnya keadaan kaum muslimin ketika
peperangan khandaq itu. Beliau berkata: "Aku telah menyaksikan di samping
Rasulullah s.a.w beberapa peperangan yang hebat dan ngeri, peperangan di
Almuraisiya, khaibar dan kami pun telah menyaksikan pertemuan dengan musuh di
Hudaibiyah, dan saya pun turut ketika menaklukan Makkah dan peperangan di
Hunain. Tidak ada pada semua peperangan yang saya turut menyaksikan itu yang
lebih membuat lelah Rasulullah dan lebih membuat kami-kami jadi takut, melebihi
peperangan Khandaq. Karena kaum Muslimin benar-benar terdesak dan terkepung
pada waktu itu, sedang Bani Quraizhah (Yahudi) tidak lagi dipercaya karena
sudah belot (berkhianat lalu memihak kepada musuh), sampai Madinah dikawal
sejak siang sampai waktu subuh, sampai kami dengar takbir kaum Muslimin untuk
melawan rasa takut mereka. Yang melepaskan kami dari bahaya ialah karena
musuh-musuh itu telah diusir sendiri oleh Allah dari tempatnya mengepung itu
dengan rasa sangat kesal dan sakit hati, karena maksud mereka tidak tercapai.”
Demikian riwayat Ummu Salamah.
Namun di dalam saat-saat yang
sangat mendebarkan hati itu, contoh teladan yang patut ditiru, tidak ada lain,
melainkan Rasulullah sendiri.
Tepat sekali apa yang dikatakan
oleh ayat 21 ini: “sesungguhnya adalah bagi kamu pada Rasulullah itu teladan
yang baik.” (pangkal ayat 21). [4]
3. Tafsir Al-Maraghi
Sesungguhnya norma-norma yang
tinggi dan teladan yang baik itu telah di hadapkan kalian, seandainya kalian
menghendakinya. Yaitu hendaknya kalian mencontoh Rasulullah s.a.w di dalam amal
perbuatannya. Dan hendaknya kalian berjalan sesuai dengan petunjuknya,
seandainya kalian benar-benar menghendaki pahala dari Allah serta takut akan
adzab-Nya di hari semua orang memikirkan dirinya sendiri dan pelindung serta
penolong di tiadakan, kecuali hanya amal saleh yang telah dilakukan seseorang,
(pada hari kiamat). Dan adalah kalian orang-orang yang selalu ingat kepada
Allah dengan ingatan yang banyak, maka sesungguhnya ingat kepada Allah itu
seharusnya membimbing kamu untuk taat kepadanya dan mencontoh perbuatan-perbuatan
Rasulnya.[5]
C. Pendidik Sebagai Contoh (Suri Teladan)
Pada dasarnya perubahan perilaku
yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik harus dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang Pendidik. Atau dengan
perkataan lain Pendidik mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku peserta
didik.
Untuk itulah Pendidik harus
menjadi contoh (suri teladan) bagi peserta didik, karena pada dasarnya Pendidik
adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat
yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang dapat digugu dan ditiru.
Seorang Pendidik sangat
berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh peserta
didiknya. Untuk itu apabila seseorang ingin menjadi Pendidik yang profesional
maka sudah seharusny ia dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis
dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang ataupun upgrading dan/atau
pelatihan yang bersifat in service training dengan rekan-rekan sejawatnya.
Perubahan dalam cara mengajar
guru dapat dilatihkan melalui kemampuan peningkatan mengajar sehingga kebiasaan
lama yang kurang efektif dapat segera terdeteksi dan perlahan-lahan
dihilangkan. Untuk itu, maka perlu perubahan kebiasaan dalam cara mengajar guru
yang diharapkan akan berpengaruh pada cara bel;ajar siswa, diantaranya sebagi
berikut (Dr. H. Hamzah : 17) :
1. Memperkecil kebiasaan cara mengajar guru
baru (calon guru) yang cepat merasa puas dalam mengajar apabila banyak
menyajikan informasi (ceramah) dan terlalu mendominasi kegiatan belajar peserta
didik.
2. Guru hendakny berperan sebagai pengarah,
pembimbing, pemberi kemudahan dengan menyediakan berbagai fasilitas belajar,
pemberi bantuan bagi peserta yang mendapat kesulitan belajar, dan pencipta
kondisi yang merangsang dan menantang peserta untuk berpikir dan bekerja
(melakukan).
3. Mengubah dari berbagai metode ceramah
dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan metode tujuan
pembelajaran, memperkecil kebiasaan cara belajar peserta yang baru merasa belajar
dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru,
atau baru belajar kalau ada guru.
4. Guru hendaknya mampu menyiapkan berbagai
jenis sumber belajar sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri dan
berkelompok,percaya diri, terbuka untuk saling memberi dan menerima pendapat
orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi.[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar